Sejarah Kabupaten Kotawaringin Timur
Sampit sebagai Ibukota Kabupaten Kotawaringin Timur merupakan salah satu kota terpenting di Provinsi kalimantan Tengah. Di samping karena secara ekonomis merupakan daerah kabupaten yang relatif maju juga karena terletak di posisi yang strategis.
Dilihat dari peta regional Kalimantan Tengah, kota Sampit sebelumnya terletak di tengah-tengah dan ini menyebabkan posisinya sangat strategis. Misalnya, warga dari Buntok mau ke Pulau Jawa, maka akan lebih dekat jika melewati Kota Sampit daripada harus ke Kota Banjarmasin. Begitu pun kalau dari Palangkaraya, Kuala Pembuang, maupun Kasongan. Jadi, posisi strategis tersebut akan meningkatkan keunggulan komparatif pelabuhan laut Sampit yang dimiliki daerah ini, terutama akan menarik perekonomian dari kabupaten yang ada di sekitar wilayah Kotawaringin Timur.
Kota Sampit terletak di tepi Sungai Mentaya. Dalam Bahasa Dayak Ot Danum, Sungai Mentaya itu disebut batang danum kupang bulan (Masdipura; 2003). Sungai Mentaya ini merupakan sungai utama yang dapat dilayari perahu bermotor, walaupun hanya 67 persen yang dapat dilayari. Hal ini disebabkan karena morfologi sungai yang sulit, endapan dan alur sungai yang tidak terpelihara, endapan gosong, serta bekas-bekas potongan kayu.
Hingga kini, yang masih menjadi pertanyaan banyak orang adalah asal kata Sampit itu sendiri. Menurut beberapa sumber, kata Sampit berasal dari bahasa Cina yang berarti “31” (sam=3, it=1). Disebut 31, karena pada masa itu yang datang ke daerah ini adalah rombongan 31 orang Cina yang kemudian melakukan kontak dagang serta membuka usaha perkebunan (Masdipura; 2003). Hasil usaha-usaha perdagangan perkebunan ketika itu adalah rotan, karet, dan gambir. Salah satu areal perkebunan karet yang cukup besar saat itu yakni areal di belakang Golden dan Kodim saat ini.
Pada 1795-1802 terjadi peperangan sengit antara Belanda melawan Inggris. Hal ini mengakibatkan terjadi pemindahan pemukiman warga Samit ke pedalaman, tepatnya ke Kota Besi. Pemindahan itu tak terlepas dari adanya gangguan para bajak laut terhadap desa-desa di muara Sungai Mentaya. Pada 1836, eskader Belanda akhirnya dapat menghancurkan gerombolan bajak laut pimpinan Koewardt yang berkekuatan 25 perahu di sekitar Teluk Kumai dan Tanjung Puting. Tokoh bajak laut Koewardt akhirnya tewas dan dikuburkan di sekitar Ujung Pandaran. Hingga kini, Kuburannya itu dianggap keramat oleh masyarakat setempat.
Setelah merasa aman, pada 1836, penduduk kumudian pindah ke Seranau yang dulunya bernama Benua Usang (sekarang: Mentaya Seberang) di mana para pedagang-pedagang Cina waktu itu juga mulai berdatangan dan menetap di sana. Namun, sesuai kepercayaan masyarakat Cina, bahwa suatu kota harus dibangun menghadap matahari terbit. Sedangkan Seranau menghadap matahari terbenam,yang menurut perhitungan hongsui Cina dianggap kurang baik. Karena itulah, mereka membangun pemukiman baru diseberang Seranau (Sampit sekarang) yang menghadap matahari terbit.
Versi lain, menurut legenda rakyat setempat yang masih hidup kini, bahwa Sampit pada masa itu berbentuk sebuah kerajaan bernama Kerajaan Sungai Sampit dan diperintah oleh Raja Bungsu. Sang baginda memiliki dua putra masing-masing Lumuh Sampit (laki-laki) dan Lumuh Langgana (perempuan). Diceritakan, kerajaan Sungai Sampit akhirnya musnah akibat perebutan kekuasaan antara saudara kandung tersebut.
Lokasi kerajaan Sungai Sampit ini diperkirakan sekitar perusahaan PT Indo Belambit sekarang (Desa Bagendang Hilir). Beberapa tahun lampau, tiang bendera kapal bekas kerajaan yang terbuat dari kayu ulin besar masih ada dan terkubur lumpur di bawah dermaga PT Indo Belambit tersebut. Bukti-bukti lain yang menguatkan dugaan ini,bahwa di lokasi tersebut pernah pula ditemukan pecahan keramik takala dilakukan penggalian alur parit. Bukti ini kian menguatkan dugaan bahwa di lokasi ini pernah ada Kerajaan Sungai Sampit yang pada masa itu sudah mengadakan kontak dagang dengan bangsa-bangsa luar seperti dari Cina, India bahkan Portugis.
Diperkirakan, Kerajaan sungai Sampit berdiri pada masa kekuasaan Dunasti Ming di Cina (abad ke-13).Hal ini dapat dicermati dari ramainya lalu lintas perdagangan dari Cina yang demikian maju sampai kemudian runtuhnya Dinasti Ming dan merek banyak yang lari kearah selatan (Kalimantan). Diceritakan pula, bahwa Putti Junjung Buih,istri dari Pangeran Suryanata, pernah pula berkunjung ke kerajaan sungai Sampit. Seperti diketahui, Pangeran Suryanata (berkuasa antara 1400-1435) adalah seorang pangeran dari kerajaan Majapahit pada masa pemerintahan Prabu Wirakarrama Wardhana sekitar 1389-1435 (Masdipura; 2003).
Bila ditelisik lebih jauh, Kerajaan Sungai Sampit ini usianya lebih tua dari Negara Dipa (abad ke-14),sehingga di buku Negarakertagama Kerajaan Banjar tidak tertulis. Terbukti pula, kala Putri junjung Buih hendak dikawinkan dengan Pangeran suryanata,40 kerajaan besar dan kecil pada waktu itu bermufakat untuk menyerang Negara Dipa. Namun, mereka dapat ditaklukkan dan sejak itulah kerajaan-kerajaan itu menjadi vazal Kerajaan Banjar. Bukti-bukti ini dapat ditelusuri pada Traktat Karang Intan di mana Sampit sebagai salah satu wilayah yang diserahkan kepada VOC.
Kota Sampit juga pernah disebut-sebut di dalam buku kuno Negarakertagama. Pada masa itu disebutkan, terutama pada masa keemasan Kerajaan majapahit, yang diperintah oleh Raja Hayam Wuruk dengan mahapatihnya yang tersohor yaitu Gajah mada.Di salah satu bagian buku yang ditulis oleh Mpu Prapanca pada 1365 itu disebutkan, bahwa pernah dilakukan ekspedisi perjalanan nusantara di mana salah satu tempat yang mereka singgahi adalah Sampit dan Kuala Pembuang.
B. Perkembangan Islam di Kotawaringin Timur
Pada abad ke-15, merupakan abad bercirikan penyebaran agama Islam. Walaupun kerajaan-kerajaan kecil Islam telah berdiri di pantai timur laut Sumatra sebelum tahun 1300, dan baru akhir abad ke-14 Raja Kutai menjadi pemeluk Islam pertama di Kalimantan. Demikian pula Islam di Sabah pada 1405 dan Brunei pada 1410, Malaka pada 1440, yang ketika itu ramai dikunjungi kapal-kapal dari Cina. Islam kemudian menyebar di pulau Jawa yang pada akhirnya menyebabkan jatunya Kerajaan Majapahit ke tangan Kesultanan Islam Demak pada permulaan abad ke 16, sementara itu, hubungan perdagangan berlangsung terus, dan pengaruh-pengaruh Jawa Hindu tampak di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Kotawaringin, Kalimantan Tengah dan Sambas, Kalimantan Barat. Namun, di sisi lain, pengaruh Islam yang meningkat di Brunei menjadi suatu pusat baru penyebaran Islam, seluruh penduduk pantai akhirnya memeluk Islam. Di bawah Sultan Bolkiah dari Brunei, Islam pun menyebar ke Filipina, yang merupakan batas tumur pengaruh Islam.
Pada awal abad ke-16 itu pula, Islam akhirnya menyebar ke Kalimantan. Semenjak itu pula, kerajaan-kerajaan Islam baru berdiri di Banjarmasin dan Pasir. Abad ke-16 ini merupakan zaman keemasan bagi Banjarmasin yang menguasai pantai-pantai Kalimantan sampai sejauh Sambas dan Sukasada di Barat, Kutai dan Berau di Timur. Brunei juga berkembang dan menguasai Pantai Utara, Sulu dan sebagian Palawan.
Sementara itu, masuknya agama Islam ke Kotawaringin Timur tak bisa dilepaskan dari pengaruh Kerajaan Banjarmasin. Seperti diketahui, Kerajaan Sungai Sampit adalah vazal dari Kerajaan banjarmasin (lihat Traktat Karang Intan pada 1 Januari 1817). Bahkan, pada 1844, diketahui cukup banyak penduduk Kotawaringin Timur yang sudah memeluk agam Islam. Mereka bermukin di Sungai Mentaya seperti Tanah Hambau, Tangar, Kawan Batu, Pahirangan, Sumin, Balirik, Tangkaroba, Tambah, Pamintangan,dan Tumbang Kuayan (Masdipura; 2003).
Sebetulnya, ada beberapa bukti lain yang mengindikasikan bahwa jauh sebelum itu sudah ada yang memeluk agam Islam di Kotawaringi Timur. Di antaranya adalah sejumlah kuburan tua, misalnya di Mentaya Seberang yang diperkirakan telah berumur ratusan tahun. Di daerah ini ada tiga buah kuburan, yang jika dilihat dari pola dan bentuk batu nisannya sudah beragama Islam. Salah satunya adalah kuburan Datuk Nabe/Ngabei (Jaya Kusuma). Diceritakan, yang dikuburkan tersebut adalah pendatang dari tanah Jawa dan dikuburkan di Mentaya Seberang (dulu: Seranau). Dulunya, tempat kuburan bagi masyarakat Kotawaringin Timur, khususnya Sampit adalah di Seranau. Jadi, bila mereka meninggal dunia akan dikuburkan di Sampit Seberang (Seranau).
Kuburan tua lainnya ditemukan di Sungai Lenggana di mana pada batu nisannya tertulis H.Abdurrahman bin H.Abdulah Bugis, lahir 11 Muharram 1103 Hijriah atau 26 Juni 1691 Masehi dan Syech Basiri bin Sayidullah wafat 1500 Masehi, sementara data lahir tidak tertulis. Ada pula Kuburan tua di Kota Besi dan di ketapang. Kuburan-kuburan tua itu menjadi salah satu petunjuk tentang masuknya agama Islam di wilayah Kotawaringin Timur.
Ketika Kerajaan Banjarmasin diperintah Sultan Suriansyah Putra Arja Jaya (1580-1620), sang baginda diketahui sudah memeluk Islam. Sejak itu pula, Sultan Suriansyah memerintahkan seluruh rakyatnya untuk segera memeluk Islam. Sementara mereka yang tidak bersedia mematuhi perintah Sultan kemudian menyingkir ke kaki Bukti Meratus yang kini disebut Orang Bukit (Masdipura; 2003). Berikutnya, Sultan Suriansyah berkeinginan memasukkan agama Islam ke Kalimantan Tengah, termasuk Kotawaringin Timur, yang merupakan vazal Kerajaan Banjarmasin. Akan tetapi, ibunda Sultan mengingatkan, bahwa para ketua suku di pedalaman itu masih ada kaitan keluarga dekat, sehingga penyebaran Islam dikhawatirkan malah akan memunculkan kekerasan dan perang saudara.
Dalam beberapa kasus, penyebaran agama Islam di kalimantan Tengah, tanpa terkecuali di Kotawaringin Timur, memang sempat menimbulkan ketegangan. Seperti misalnya yang dialami Sultan Mustaim Billah (1656-1678), yang terpaksa berperang melawan mertuanya sendiri Patih Rumbih. Peperangan itu berlangsung di pulau Mintin karena Sultan memaksa istrinya masuk islam.
Seperti di pulau Jawa, di mana para Walisongo menyebarkan agama Islam lewat media wayang kulit, begitu juga awalnya di pulau Kalimantan. Kesenian Wayang Banjar dibawa langsung dari Jawa Timur oleh Datu Purbaya semasa Sultan Talillullah (1679-1700) di Banjarmasin dengan gelar Ngabei Surapati Mangkubumi. Hal ini sesuai dengan jantaran berbunyi : Landak sirna narinting tanah mengandung sangkala memet. Ini kemudian disempurnakan dalam wanda keseluruhan melalui Datu Kartasura oleh Mantri Kedaton Kyai Masdipura (1824-1919). Sejak itulah, secara berangsur-angsur agama Islam disebarkan ke daerah-daerah di Kotawaringin Timur. Sebagai bukti, hingga kini masih dikenal adanya kesenian Wayang Banjar, Mamanda serta Kirik, yang masih tumbuh subur di Kotawaringin Timur dan lazim dikenal masyarakat sebagai seni pesisir.
C. Zaman Pendudukan Hindia Belanda
Eksistensi Kabupaten Kotawaringin Timur secara Historis tidak terlepas dari pemerintah Majapahit dan masuknya agama Islam yang berkembang mulai tahun 1620. Pada waktu itu, daerah-daerah pantai Kalimantan Tengah bagian selatan dikuasai Kerajaan Demak. Pada Tahun 1679, Kerajaan Banjarmasin mendirikan Kerajaan kotawaringin yang berlokasi di Kecamatan Arut Selatan, Kabupaten Kotawaringin Barat, meliputi daerah pantai Kalimantan Tengah termasuk Sampit, Mendawai dan Kuala Pembuang. Sedangkan daerah-daerah lainnya tetap berada di bawah pimpinan kepala suku yang kemudian menarik diri ke daerah pedalaman.
Belanda muncul di Kalimantan pada 1598, dan kekuasaan kolonial mulai menancapkan kukunya pada abad ke-17 ketika Inggris dan belanda berusaha untuk memperoleh pijakan dalam perdagangan. Setelah perjanjian dagang yang tak bertahan lama dengan Banjarmasin, maka Belanda akhirnya menguasai kota itu pada 1747. Di utara, kompeni Inggris The British East India Company memperoleh suatu wilayah di Sabah dari Sultan Brunei pada 1784.
Sementara itu, sejak ditandatanganinya perjanjian VOC dan Sultan banjar (1787), maka daerah Kotawaringin Timur dikuasai pemerintah kolonial Hindia Belanda. Pada tahun 1917, Belanda mengangkat petugas pemerintahannya dari penduduk pribumi di bawah pengawasan pejabat Hindia Belanda. Kotawaringin Timur pada masa itu merupakan suatu wilayah pemerintahan Onder Afdelling Sampit, yakni setingkat kewedanaan dengan kepala pemerintahnya yakni Kontrolir atau controleur (Asyari;4-6).
Secara fisik, kondisi geografis Kotawaringin tidak begitu banyak berubah. Sebelah utara berbatasan dengan Kalimantan Barat (Onder Afdelling Sintang), sebelah timur dengan Sungai Kahayan (termasuk Onder Afdelling Beneden Dayak), sebelah selatan berbatasan dengan Laut Jawa, sedangkan sebelah barat dengan Kotawaringin Barat (Onder Afdelling Kotawaringin).
Awalnya, Kotawaringin Timur memiliki luas wilayah sekitar 50.700 kilometer persegi, sama dengan luas sebelum era kemerdekaan. Daerah Kotawaringin Timur dilintasi tiga sungai penting yakni Sungai Mentaya, Seruyan dan Katingan yang mengalir menuju ke Laut Jawa. Namun, pasca pemekaran wilayah pada 2002, Kotawaringin Timur dipecah menjadi dua kabupaten baru yakni Kabupaten Seruyan dan Katingan. Akibatnya, Kotawaringin Timur Cuma memiliki Sungai Mentaya yang membelah Kota Sampit, sementara Sungai Seruyan dan Katingan termasuk dalam wilayah pemekaran kabupaten baru tersebut. Sejak itu pula, luas Kotawaringin Timur menyusut hanya tinggal sekitar 17.000 kilometer persegi (Eksekutif ; 2003).
Onder Afdelling Sampit lebih dipusatkan pada kegiatan perdagangan dan industri. Ini bias ditelusuri dari adanya bukti peninggalan sejarah yakni kawasan Pelabuhan Sampit dan PT. Inhutani III yang dulu dikenal dengan nama N.V. Bruinzell serta perusahaan Remiling yang bergerak dibidang pertanian.
D. Zaman Pendudukan Fasisme Jepang
Pada zaman penjajahan Jepang (1942-1945), Pemerintah Onder Afdelling Sampit dikepalai oleh Bunken Kanrikan dan Gunco dalam kekuasaan pemerintah Angkatan Laut Jepang, Borneo Minseibu, yang berpusat di Banjarmasin (sekarang Ibu Kota Kalimantan Selatan). Dalam perang Asia Timur Raya, Jepang menderita kekalahan dari tentara sekutu. Kesempatan baik itu dimanfaatkan oleh Soekarno-Hatta atas nama Bangsa Indonesia untuk memproklamirkan kemerdekaannya pada Jum’at pagi, 17 Agustus 1945 di Jakarta.
Lantaran keterbatasan sarana komunikasi, berita kemerdekaan tersebut baru terdengar di Sampit dan wilayah Kalimantan lainnya, khususnya setelah kedatangan A.A. Hamidan dan A.A. Rivai di Banjarmasin, pada 24 Agustus 1945. Berita gembira itu kemudian disiarkan serta disebarluaskan melalui Radio Borneo Simbun di Banjarmasin dan Kandangan. Selain berita proklamasi, juga disiarkan pengangkatan Ir. Pangeran Muhammad Noor sebagai Gubernur Kalimantan.
Sementara itu, di wilayah Samuda, pada 1 September 1945, pemerintah telah diambil alih oleh Panitia Aksi Kemerdekaan. Selanjutnya, dalam keadaan darurat dibentuklah Pemerintahan RI Wilayah Samuda dipimpin oleh Mohamad Baidawi Udan dengan wakilnya Ali Badrun Maslan. Peresmiannya sendiri dilakukan pada tanggal 8 Oktober 1945, dalam suatu upacara rapat umum disertai pengibaran bendera merah putih serta diiringi lagu Indonesia Raya dipimpin oleh Darham Ibul bertempat di muka pasar setempat.
Sejak 9 Oktober 1945, Pemerintah Republik Indonesia wilayah Samuda mulai bekerja. Mereka menempati sebuah kantor sederhana yaitu sebuah rumah yang diserahkan oleh penduduk setempat. Rumah yang dijadikan kantor Pemerintah republik Indonesia wilayah samuda itu terletak di Basirih Hilir, tak jauh dari sungai Jajangkit, Samuda.
Lain halnya di sampit, pemerintah Jepang masih bertahan hingga awal September 1945, sampai kemudian datang utusan pemerintahan Jepang dari Banjarmasin. Penyerahan secara resmi baru dilakukan dalam sebuah upacara di Lapangan Tugu, Sampit. Acara tersebut diikuti seluruh komponen masyarakat Kota Sampit seperti para Pegawai Negeri, Guru, Kepala Kampung, Tokoh Masyarakat, serta murid-murid sekolah. Bertindak mewakili pemerintah Jepang adalah Bunken Kanrikan Nomura Akira, yang menyerahkan pemerintahan Jepang kepada pemerintah RI wilayah Sampit. Saat itu, dilaksanakan upacara penurunan bendera Jepang dan dikibarkan bendera merah putih.
Awalnya pemerintahan Sampit sempat pula dikuasai pemerintahan Belanda/NICA. Namun, kondisi itu tak berlangsung lama. Melalui pergerakan bersenjata dalam pertempuran heroik yang dikenak dengan nama “Gerakan Operasi Subuh”, yang dipimpin secara gabungan oleh Pemuda Indonesia Merdeka Sampit yakni Hasyim Djapar dari PIM/BPRI Sampit, Muhammad Baidawi Udan, Ali Badrun Maslan, TKR Samuda Usman H. Asan dan Majekur Maslan serta BPRI rombongan sembilan anak buah Bung Tomo, wilayah Sampit kembali direbut dari tangan musuh pada 29 Nopember 1945, tepatnya pada subuh pukul 04.00.
Setelah pengambilan kekuasaan pemerintah berhasil, maka pada tanggal 29 November 1945 pukul 07.00 pagi, Pemerintahan Republik Indonesia wilayah Sampit diresmikan dalam suatu upacara pengibaran bendera merah putih. Acara dihalaman kantor setempat itu berlangsung hikmad dan diiring lagu kebangsaan Indonesia Raya. Berikutnya, dilakukan rapat pembentukan susunan pemerintahan yang dipimpin oleh Hasyim Djapar dan akhirnya terpilih Abdul Hamid Hasan sebagai Kepala Pemerintahan Setembat (KPS).
E. Masa Pendudukan NICA
entara Belanda/NICA yang membonceng pasukan sekutu memang terkenal licik. Pada 7 – 8 Januari 1946, Pasukan NICA berhasil menduduki Pemerintah RI wilayah Sampit dan Samuda di saat BPKR berangkat ke Banjarmasin memenuhi permintaan untuk membantu mengusir tentara NICA.
Namun keadaan demikian tidak membuat semangat juang rakyat di wilayah Sampit maupun Samuda menjadi kendur. Rakyat setempat dengan senjata ala kadarnya terus berjuang mempertahankan kemerdekaan RI yang baru saja diproklamirkan oleh Soekarno-Hatta atas nama bangsa Indonesia di Jakarta. Perlawanan sporadic oleh para pejuang kemerdekaan terjadi di beberapa daerah dan dilakukan secara bergerilya.
Sementara itu, pada 17 Oktober 1947, satu tim pasukan terjun paying (14 orang) diberangkatkan dengan pesawat C-47 Dakota RI-002 dari Lapangan Udara Maguwo, Yogyakarta. Pesawat itu membawa pemuda-pemuda berasal dari Kalimantan di bawah pimpinan Mayor Udara Tjilik Riwut dan Amir Hamzah sebagai jumping masters. Ke-14 orang itu adalah :
No | Nama | Asal |
1 | Iskandar | Sampit |
2 | J. Bitak | Kelapa Baru Kahayan |
3 | G. Willeme | Kapuas |
4 | J. Darius | Kasongan |
5 | A. Kosasih | Mangkaluhi Barito |
6 | Bachri | Mapulang Barabai |
7 | Ali Akbar | Balikpapan |
8 | M. Amiruddin | Kahayan Hulu |
9 | Emanuel | Kahayan Hulu |
10 | Marawi | Rantau Pulut |
11 | Jam’an | tak diketahui |
12 | Suyoto | Ponorogo |
13 | H. Hadi Sumantri | Semarang |
14 | Muh. Dahlan | Sampit |
Komandan pasukan Tjilik Riwut menunjuk selaku Komandan Pasukan Penerjun ini yaitu Letnan Muda Iskandar dan bilamana gugur digantikan M. Dachlan, kemudian J. Bitak. Sekitar pukul 07.00, mereka kemudian diterjunkan dibelantara Kalimantan, tepatnya di atas Kampung Sambi, terletak diantara Sungai Arut dan Seruyan serta tak jauh dari daerah Rantau Pulut.
Penambahan pasukan ini dimaksudkan untuk memperkuat BPKR Sampit dalam menumpas ratusan pasukan KNIL/KL. Pertempuran sengit tak terelakkan. Dalam pertempuran tersebut, gugur tiga orang pasukan paying, yakni Kapten Udara Hari Aryadi Sumantri, Letnan Muda Iskandar dan Sersan Kosasih.
Sebagai penghargaan atas jasa-jasanya, ketiga pahlawan tersebut oleh Pemerintah Daerah Sampit telah ditanam “Pohon Beringin Iskandar” di depan Kantor Pemerintah Kabupaten Sampit serta pemberian nama Jalan Iskandar dan Jalan Kosasi di Pusat Kota Sampit.
Pada perkembangan selanjutnya, Pemerintah RI di Sampit sempat dikuasai tentara Belanda yang memboncengi NICA. Sebagai follow up dari pertempuran 15 Juli 1946 di Malino, yang kemudian menjadi dasar-dasar pembentukan Negara Indonesia Serikat (NIS), dimana pimpinan NICA saat itu dikendalikan Luittenant Gouvernuer General (LGG) Dr. H.J. Van Mook. Pembentukan NIS tersebut tak lain merupakan strategi kolonial Belanda di bawah kamu flase NICA yang sebenarnya berkeinginan kembali menancapkan kukunya di bumi pertiwi. Itulah sebabnya, niat busuk yang sudah tercium para pejuang republik tersebut mendapat tantangan keras yang diwujudkan dengan penolakan dan perlawanan bersenjata terhadap Belanda.
Menyadari kenyataan itu, Belanda yang dikenal licik dengan politik de vide et impera-nya kemudian mencari siasat lain untuk menguasai wilayah Indonesia. Maka, dipilihlah cara lewat pembentukan “negara-negara boneka”. Langkah pertama adalam mendirikan Negara Indonesia Timur (NIT) melalui Konferensi Denpasar pada 7-24 Desember 1947. NIT merupakan negara bagian pertama dari Negara Indonesia Serikat yang direncanakan. Sesudah itu lahirlah Negara Sumatera Timur (1947), Negara Pasundan (1948), Negara Sumatera Selatan (1948), Negara Jawa Timur (1948), Negara Madura (1948), dan satuan-satuan negara kecil lainnya.
Di Kalimantan sendiri Belanda juga merencanakan untuk membentuk Negara Kalimantan. Untuk mewujudkan rencana tersebut, Belanda membentuk daerah-daerah otonom yang berdiri sendiri dan kemudiannya menggabungkannya kedalam bentuk federasi. Di Pulau Kalimantan kala itu terdapat lima pemerintahan federasi yaitu Kalimantan Barat, Kalimantan Tenggara, Dayak Besar, Banjar, dan Kalimantan Timur.
Daerah Kotawaringin yang pada masa itu berkedudukan di Pangkalan Bun masih menjadi daerah pendudukan tentara Belanda. Pada 14 januari 1946, daerah Kotawaringin Barat rencananya juga akan dimasukkan ke dalam daerah Bagian dayak Besar menjadi sebuah negara bagian. Ini merupakan salah satu politik kotor pemerintah Belanda saat itu dimana tujuannya untuk memecah belah daerah sehingga mudah dikuasai kembali.
Namun, dewan Kotawaringin tetap bersikeras memperjuangkan Kotawaringin untuk lepas dari pemerintahan Belanda dan hanya tunduk kepada pemerintahan RI yang sah. Hal ini dibuktikan dari adanya perlawanan sporadic di sejumlah daerah yang memang tidak mau lagi berada di bawah lingkungan kolonial Belanda.
F. Menjadi Kabupaten Sendiri
Hingga akhir 1949, Gubernur Kalimantan, Dr. Murdjani datang ke daerah Kotawaringin di dampingi Mayor Tjilik Riwut dan lain-lain. Akhirnya, pada 1 Mei 1950, wilayah Kotawaringin telah diterima ke dalam pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai daerah Swapraja Kotawaringin. Selanjutnya, pada 16 April 1950, beberapa pemuka Daerah Istimewa Swapraja Kotawaringin mengadakan rapat umum dan mengeluarkan mosi bahwa daerah istimewa tersebut masih tertekan. Karenanya, mereka meminta kepada Gubernur Kalimantan untuk menghapuskan Swapraja Kotawaringin dan mengubahnya menjadi daerah biasa supaya sama majunya dengan daerah Sampit.
Merespon tuntutan itu, pada 3 Agustus 1950, Gubernur Kalimantan mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 154/OPB/92/04 yang menyatakan bahwa Daerah Kotawaringin (Onder Afdelling Kotawaringin) disatukan dengan tiga kewedanan (Sampit Barat, Sampit Timur dan Sampit Utara) ke dalam wilayah Pemerintah daerah Otonom Kotawaringin dengan ibukotanya di Sampit.
Banyaknya desakan masyarakat dan mosi yang disampaikan ke Pemerintah RI sementara yang berkedudukan di Yogyakarta, maka diseluruh Daerah Provinsi Kalimantan Tengah telah disiapkan daerah-daerah otonom kabupaten dan daerah-daerah otonom setingkat dengan kabupaten.
Beberapa wilayah yang merupakan bentukan sementara menurut Keputusan Gubernur Kalimantan pada 14 Agustus 1950 Nomor 186/OPB/92/14 adalah mencakup Bandjar, Hulu Sungai Selatan, Kotawaringin, Barito, Kotabaru dan Kutai. Dalam perkembangan berikutnya, agar mempunyai hak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, maka dikeluarkan pula Undang-Undang Darurat Nomor 3 Tahun 1953 tanggal 7 Januari 1953 tentang pembentukan (resmi) daerah otonom kabupaten/daerah istimewa tingkat Kabupaten/Kota Besar dalam lingkungan Daerah Provinsi Kalimantan, Yakni Kabupaten Bandjar, Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Utara, Barito, Kapuas, Kotawaringin (meliputi kewedanan-kewedanan Sampit Barat, Sampit Timur dan Sampit Utara dan Swapraja Kotawaringin), Kabupaten Kotabaru, Kota Besar Bandjarmasin, Kabupaten sambas, Pontianak, Ketapang, Sanggau, Sintang dan Kapuas Hulu, Daerah Istimewa Kutai, Daerah Intimewa Berau dan Bulongan. Maka, sejak itulah secara resmi Pemerintahan Daerah Otonom Kabupaten Kotawaringin berkedudukan di Sampit di bawah Kepala Daerah Mayor Angkatan Udara Tjilik Riwut (1950-1957). Dan, tanggal 7 Januari setiap tahun akhirnya ditetapkan sebagai hari jadi kota Sampit.
G. Pemekaran Daerah Otonom
Keinginan untuk menambah keselarasan dalam menjalankan pemerintahan daerah yang terinspirasi dari UU Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan menggantikan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1948, maka perlu menambah daerah tingkat II di Kalimantan dengan jalan membagi beberapa daerah otonom kabupaten lama menjadi beberapa daerah tingkat II baru dan membentuk kotapraja baru.
Pemerintah Daerah Otonom Kabupaten yang saat itu dipimpin oleh Tjilik Riwut mempunyai keinginan untuk membagi daerah otonom Kotawaringin menjadi dua wilayah kabupaten dalam wilayah Daerah Tingkat I Kalimantan Tengah.
Para tokoh perintis kemerdekaan dan masyarakat Kotawaringin pada saat itu menginginkan Kota Sampit sebagai Ibu Kota Kalimantan Tengah. Keinginan itu cukup beralasan, dengan mempertimbangkan bahwa Kota sampit merupakan kota yang cukup tua dan bersejarah dalam memperjuangkan dan mempertahankan NKRI serta merupakan salah satu kota maju karena berkembangnya industri kayu sejak zaman Belanda. Apalagi, didukung oleh Pelabuhan Sampit yang merupakan outlet pintu masuk dan keluar barang-barang dan jasa dari provinsi Kalimantan.
Namun demikian, keinginan itu harus kalah karena aspirasi masyarakat di banyak wilayah Kalimantan Tengah justru menginginkan Ibu Kota Kalimantan tengah berada di Desa Pahandut (saat itu masuk dalam wilayah Kabupaten Kapuas).
Pada 18 Mei 1957, dalam sebuah upacara adapt yang dimotori anggota Gerakan Mandau Telawang Pancasila (GMTPS), akhirnya Gubernur Milono (gubernur pada Departemen Dalam Negeri Koordinator Seluruh Kalimantan) menyatakan bahwa DEsa Pahandut dipilih sebagai Kota Palangka Raya, Ibu Kota Provinsi Kalimantan tengah. Dan peletakan batu pertama pembangunan Kota Palangka Raya pada 17 Juli 1957 itu dilakukan langsung oleh Presiden RI Ir. Soekarno.
Sejak itu pula secara resmi Kotawaringin dipisah menjadi Kabupaten Daerah Tingkat II Kotawaringin Timur, meliputi Kewedanan Sampit Barat (DAS Seruyan), Sampit Timur (DAS Mentaya), dan Sampit Utara (DAS Katingan) beribukota di sampit dan Kotawaringin Barat (Swapraja Kotawaringin meliputi Kewedanan Kotawaringin) beribukota di Pangkalanbun. Dua Kabupaten ini menjadi bagian wilayah provinsi Kalimantan Tengah, khususnya setelah dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1959, tentang Penetapan Undang-Undang Darurat Nomor 3 Tahun 1953 tentang Pembentukan Daerah Tingkat II di Kalimantan.
H. Era Reformasi
Era reformasi, yang membahana bersamaan lengser-nya sang patron Orde Baru Soeharto pada 21 Mei 1998, gaungnya juga sampai ke Kota Sampit. Karena itu, di era reformasi yang kemudian disusl penerapan otonomi daerah, aspirasi masyarakat sampit kembali mengemuka. Salah satu aspirasi yang dikumandangkan adalah upaya pemekaran wilayah dimana sebelumnya tuntutan aspirasi tersebut dimasa Orba seolah tersumbat.
Kini, Kota Sampit di bawah kepemimpinan Bupati Wahyudi K. Anwar dan wakil Bupati Drs. HM. Amrullah Hadi, berupaya maksimal menangkap aspirasi masyarakat yang berkembang di daerahnya. Tentu saja, semua itu dilakukan agar sejalan dengan tuntutan otonomi daerah yang selalu mengacu pada tiga factor mendasar yaitu : (1) Memberdayakan masyarakat, (2) Menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, dan (3) meningkatkan peran serta masyarakat secara aktif dan meningkatkan peran dan fungsi Badan Perwakilan Rakyat Daerah.
Itulah sebabnya, untuk memenuhi aspirasi masyarakat guna mempercepat dan melakukan pemerataan pembangunan, maka Kabupaten Kotawaringin Timur dengan luas wilayah 50.700 kilometer persegi, dimekarkan menjadi tiga kabupaten. Ketiga Kabupaten tersebut adalah Kabupaten Kotawaringin Timur(kabupaten induk mencakup DAS Mentaya seluas 16.496 kilometer persegi terdiri atas 10 Kecamatan beribukota di sampit. Kabupaten Seruyan mencakup DAS Seruyan, dengan luas wilayah 16.404 kilometer persegi mencakup lima Kecamatan beribuko di Kuala Pembuang dan Kabupaten Katingan mencakup DAS Katingan dengan luas 17.800 kilometer persegi, dengan 11 Kecamatan beribukota di Kasongan, Penetapan pemekaran itu berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 2002.
Sumber : disini